Fenomena “side hustle” di Indonesia mencuat sebagai salah satu cerminan adaptasi masyarakat terhadap dinamika zaman.
Pertanyaan besar yang muncul adalah, apakah pekerjaan tambahan ini murni karena desakan ekonomi atau justru bentuk eksplorasi aktualisasi diri? Ternyata, fenomena ini tidak hanya sekadar tren, tetapi juga gambaran perjuangan individu untuk bertahan dan berkembang di era modern, khususnya pasca pandemi Covid19.
Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), persentase pekerja yang memiliki side hustle meningkat dari 14,3% pada 2019 menjadi 17,8% di 2023. Lonjakan ini seolah menegaskan dampak pandemi Covid19 sebagai katalisator utama. Selama masa krisis, tekanan ekonomi dan ketidakpastian pekerjaan utama memaksa banyak orang untuk mencari sumber pendapatan tambahan.
Namun, di balik itu, ada lapisan lain yang menarik untuk ditelusuri, kebutuhan untuk menyalurkan bakat dan passion yang mungkin tak sepenuhnya terwadahi oleh pekerjaan utama.
Motif ekonomi tetap menjadi alasan utama di balik keputusan untuk menjalani side hustle. Sebanyak 65% side hustler menyatakan bahwa pendapatan utama mereka tidak mencukupi kebutuhan dasar. Fakta ini diperkuat dengan data biaya hidup di kota besar seperti Jakarta yang mencapai rata-rata Rp7,5 juta per bulan, sementara pendapatan rata-rata pekerja hanya sekitar Rp5,8 juta. Gap ini memaksa individu mencari alternatif, dengan sektor informal dan digital menjadi pilihan favorit.
Menariknya, tidak semua side hustler berada dalam kondisi ekonomi mendesak. Sebagian justru menjadikan pekerjaan tambahan sebagai medium untuk mengejar kepuasan pribadi. Misalnya, pekerja muda dengan pendidikan tinggi yang memanfaatkan platform digital untuk menjalankan usaha kreatif seperti desain grafis, penulisan, atau bahkan kursus daring. Data menunjukkan bahwa mereka yang memiliki pendidikan S1 atau lebih tinggi memiliki peluang 1,5 kali lebih besar untuk memiliki side hustle dibandingkan mereka dengan pendidikan dasar.
Pandemi Covid-19 dan Lonjakan Side Hustle
Pandemi tidak hanya membawa tantangan, tetapi juga membuka peluang baru. Transformasi digital yang dipercepat selama masa pandemi memberikan akses yang lebih luas bagi pekerja untuk menjalankan usaha sampingan dari rumah. Tahun 2023 mencatat, sebanyak 42% side hustler di Indonesia memanfaatkan platform digital untuk mengelola bisnis mereka, mulai dari e-commerce hingga freelance. Lonjakann ini tidak hanya berdampak pada ekonomi individu, tetapi juga meningkatkan kontribusi sektor informal terhadap perekonomian nasional..
Namun, fenomena ini tidak lepas dari dilema. Jam kerja yang berlebihan menjadi salah satu isu utama. Sebanyak 28% side hustler melaporkan bekerja lebih dari 60 jam per minggu, yang berpotensi mengganggu keseimbangan hidup dan kesehatan mental. Meski demikian, sebagian besar tetap merasa puas karena side hustle memberi ruang bagi kreativitas dan kebebasan lebih dibandingkan pekerjaan utama mereka.
Ke depan, tren ini diperkirakan akan terus berkembang, terutama dengan semakin populernya gaya hidup “gig economy“. Tantangan bagi pemerintah dan perusahaan adalah menciptakan ekosistem yang mendukung pertumbuhan ini tanpa mengorbankan kesejahteraan pekerja. Misalnya, dengan menyediakan program pelatihan untuk membantu mereka meningkatkan produktivitas.
Side hustle bukan sekadar fenomena ekonomi. Ia adalah refleksi dari semangat juang masyarakat Indonesia yang tak pernah padam, bahkan di tengah badai pandemi. Baik sebagai bentuk survival atau aktualisasi diri, satu hal yang pasti side hustle adalah cerminan adaptasi dan inovasi yang terus berkembang.