Layanan chatbot AI-generatif makin banyak diadopsi masyarakat. Kendati begitu, ternyata perusahaan pengembangnya belum tentu untung.
OpenAI yang merupakan perusahaan di balik layanan chatbot AI populer ChatGPT saja ternyata mengalami kerugian. Layanan chatbot AI yang bisa memberikan informasi, rekomendasi, dan tutorial dengan ‘bahasa manusia’ tersebut digadang-gadang sebagai pengganti mesin pencari Google.
Bahkan, ChatGPT juga sudah meluncurkan layanan khusus mesin pencari yang benar-benar mirip dengan fungsi Google.
Kendati demikian, CEO OpenAI Sam Altman mengatakan saat ini perusahaan masih rugi meski mematok harga langganan US$200 (Rp 3,2 jutaan) per bulan untuk layanan premium ChatGPT Pro.
Alasannya, para pelanggan dikatakan memanfaatkan layanan tersebut lebih dari yang diprediksi perusahaan.
“Saya sendiri yang menetapkan harga langganan tersebut dan berpikir kami bisa menghasilkan uang,” tulis Altman melalui akun X personalnya.
OpenAI merilis ChatGPT Pro menjelang akhir tahun lalu. Pelanggan bisa mengakses versi peningkatan OpenAI o1 Pro dan secara terbatas memanfaatkan layanan generator video Sora melalui ChatGPT Pro.
Meski patokan harga langganan sudah terhitung mahal, nyatanya OpenAI belum bisa meraup profit. Padahal, peusahaan telah mengumpulkan pendanaan sekitar US$20 miliar (Rp 324 triliun) sejak pertama kali berdiri.
Baru-baru ini, perusahaan memprediksi kerugian mencapai US$5 miliar (Rp 80 triliun) atau meningkat dari kerugian tahun sebelumnya sebesar US$3,7 miliar (Rp 60 triliun), dikutip dari TechCrunch, Senin (6/1/2025).
Kerugian itu didorong biaya-biaya operasional yang membengkan, seperti gaji karyawan, sewa kantor, dan infrastruktur pelatihan AI.
Pada satu titik, ChatGPT pernah menelan biaya operasional OpenAI yang diestimasikan sekitar US$700.000 (Rp 11,3 miliar) per hari.
Baru-baru ini, OpenAI mengakui pihaknya membutuhkan lebih banyak modal dari yang pernah dibayangkan sebelumnya. Sebab, perusahaan tengah menyiapkan restrukturisasi untuk menarik investasi baru.
OpenAI juga dilaporkan berencana meningkatkan harga langganan berbagai layanannya. Perusahaan optimistis bisa meraup pendapatan hingga US$100 miliar (Rp 1,6 triliun) pada 2029 mendatang. Angka itu setara dengan penjualan tahunan Nestle.