Indonesia saat ini tengah mendorong program hilirisasi komoditas tambang untuk mendorong nilai tambah di dalam negeri. Khusus komoditas nikel, Indonesia sejak 2020 lalu menggencarkan hilirisasi nikel di dalam negeri, melalui kebijakan larangan ekspor bijih nikel.
Akibatnya, ratusan unit fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) nikel di dalam negeri telah terbangun dengan konsumsi ratusan juta ton bijih nikel per tahun. Berdasarkan data Kementerian ESDM, produksi bijih nikel RI pada 2024 ini disetujui mencapai 240 juta ton, naik dari capaian produksi bijih nikel pada 2023 yang sebesar 193,5 juta ton.
Indonesia bahkan tercatat menguasai 43% pasar logam nikel dunia, tertinggi di dunia, berdasarkan data Badan Energi Internasional (IEA) pada 2022.
Di tengah maraknya pembangunan smelter nikel di Tanah Air, tak bisa dipungkiri investor asal China kini mendominasi.
Namun demikian, jauh sebelum bermunculannya proyek-proyek smelter asal China di Indonesia, sudah ada perusahaan yang telah membangun smelter nikel di Indonesia. Bahkan, sejak beroperasinya perusahaan ini, dia tak pernah menjual atau mengekspor mineral mentah alias bijih nikel sekalipun.
Perusahaan yang dimaksud ini yaitu PT Vale Indonesia Tbk (INCO), atau sebelumnya bernama PT International Nickel Indonesia (INCO) yang memegang Kontrak Karya (KK) di Indonesia sejak 1968.
Presiden Direktur INCO Febriany Eddy mengatakan, jauh sebelum kebijakan hilirisasi nikel di Indonesia diterapkan, sejak tahun 1978 pihaknya sudah melakukan hilirisasi nikel di Indonesia.
“Hilirisasi sudah menjadi bagian dari PT Vale sejak kami berdiri ya. Jadi sebenarnya mungkin tidak banyak yang tahu bahwa kita tidak pernah ekspor bijih mentah. Bahkan pabrik kita itu sudah dibangun sejak tahun 1978,” ungkap Febriany Eddy kepada CNBC Indonesia dalam program Mining Zone, dikutip Jumat (23/8/2024).
Ditambah, Febriany mengatakan pihaknya juga sudah memiliki sumber listrik sendiri untuk menjalankan operasi perusahaan dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Larona sejak tahun 1978.
“Kemudian tentu dengan berjalannya waktunya, kita ekspansi pabriknya, kita juga ekspansi PLTA. Saat ini PT Vale sudah punya 3 PLT. Jadi yang terakhir itu 2011. Kita punya 365 MW. Jadi kami, sebenarnya hilirisasi ini adalah sesuatu yang sudah menjadi bagian dari kita sejak kita ada,” tambahnya.
Lebih lanjut, Febriany mengatakan pihaknya juga sangat mendukung program hilirisasi mineral termasuk pada komoditas nikel di Indonesia. Dia klaim hilirisasi nikel di Indonesia juga menyumbang nilai tambah untuk pendapatan negara.
“Karena bisa jelas kita lihat, kita bukti nyatanya lah. Puluhan tahun di Sorowako, kami berada di Timur, bisa dilihat bahwa nilai tambah dari hilirisasi ini memang sangat signifikan. Dari jual bijih menjadi jual produk, proses olahan,” imbuhnya.
Selain itu, dia juga mengatakan proses lanjutan dari pertambangan nikel yang dilakukan oleh pihaknya tersebut merupakan langkah perusahaan untuk diteruskan jangka panjang.
Febriany mengatakan dengan melakukan hilirisasi nikel oleh pihaknya bisa mendorong terbangunnya infrastruktur fasilitas masyarakat sekitar pabrik.
“Dengan jangka panjang artinya apa? Infrastruktur yang kami bangun pun, sekolah, rumah sakit, jalan, itu pun yang bersifat jangka panjang. Sehingga manfaat sosialnya pun bisa dirasakan lebih,” tandasnya.