Google telah terbukti merupakan sebuah perusahaan yang melakukan praktik monopoli. Mesin pencarian di internet itu ditetapkan demikian, dalam putusan per 5 Agustus 2024, yang setebal 286 halaman, dari persidangan yang hampir berjalan selama empat tahun.
“Google adalah perusahaan monopoli,” tulis Amit Mehta, hakim pengadilan distrik di Amerika, dikutip dari The Economist, Rabu (7/8/2024).
Ia menambahkan bahwa “Google telah bertindak sebagai perusahaan monopoli.”
Putusan ini dapat menyebabkan perubahan besar bagi pasar pencarian bernilai miliaran dolar dan bagi industri teknologi yang lebih luas.
Google menangani sekitar 90% permintaan pencarian di Amerika (termasuk 95% di antaranya di ponsel), yang menjadi fondasi bisnis periklanan terbesar di dunia. Orang-orang menggunakannya sebagian karena Google pandai menemukan sesuatu, tetapi juga karena Google biasanya menjadi mesin pencari default di ponsel atau browser mereka. Google mempertahankan posisi ini dengan membayar sejumlah besar uang kepada pembuat ponsel dan pengembang browser.
Pada tahun 2021, pembayaran ini mencapai US$26 miliar, menurut persidangan. Para pesaing Google, yang didukung oleh Departemen Kehakiman Amerika (DOJ), telah lama mengeluh bahwa kesepakatan semacam itu memberikan Google “cengkeraman” kuat pada pencarian.
Kesepakatan itu mempersulit para pesaing untuk menjangkau pengguna baru. Selain itu, kesepakatan itu juga memperkuat kinerja Google yang unggul, dengan mengirimkan miliaran pertanyaan pencarian setiap hari, melatih algoritmanya agar lebih baik lagi.
Putusan Mehta menyatakan bahwa kesepakatan ini memang melanggar hukum antimonopoli. Kasus ini merupakan kemenangan bagi regulator Amerika dalam perang salib mereka yang telah berlangsung lama melawan perusahaan teknologi besar.
DOJ, yang juga telah menggugat Apple, memiliki kasus kedua terhadap Google, terkait bisnis periklanannya, yang akan dimulai bulan depan. Komisi Perdagangan Federal, lembaga pengawas pembongkar monopoli lainnya, telah mengajukan klaim terhadap Meta dan Amazon.
Kemenangan DOJ atas Google dipuji oleh para pakar sebagai putusan terpenting dalam regulasi teknologi sejak Microsoft dinyatakan bersalah atas praktik monopoli pada tahun 2001.
Reaksi pasar ternyata tidak terlalu riuh, harga saham Alphabet, perusahaan induk Google, turun hanya sekitar 2% setelah putusan terhadap Google itu.
Investor memang masih perlu menahan penilaiannya, karena dua hal tidak pasti. Pertama, Google akan mengajukan banding, yang bisa memakan waktu bertahun-tahun. Kedua, pengadilan belum mengusulkan penyelesaian atas masalah yang telah diidentifikasi.
Sebagian besar pengamat berpendapat penyelesaian dengan memisahkan sistem operasi Android Google dari bagian perusahaan lainnya, tidak mungkin dilakukan.
Potensi penyelesaian lainnya, adalah memaksa Google untuk membagikan data pencariannya dengan para pesaing, untuk membantu mereka melatih algoritma mereka sendiri. Namun, ini akan sulit dilakukan. Sebab, selain menimbulkan masalah privasi (akan lebih banyak perusahaan akan mengetahui riwayat pencarian Anda), hal itu akan memerlukan pengawasan berkelanjutan, sesuatu yang pengadilan coba hindari.
The Economist menyebut, penyelesaian yang paling memungkinkan adalah melarang Google membayar hak untuk menjadi mesin pencari default pada platform seperti iPhone. Konsumen kemudian dapat diberikan pilihan alat pencarian.
Hal serupa sudah terjadi di Uni Eropa, di mana Google diperintahkan untuk menawarkan pilihan kepada konsumen atas mesin pencari default mereka di ponsel Android pada tahun 2018 (Apple baru-baru ini dipaksa melakukan hal yang sama dengan browser di iPhone-nya).
Sejauh ini, tampaknya konsumen yang dihadapkan dengan pilihan-pilihan ini sebagian besar memilih merek yang sudah mereka kenal. Menurut Search Engine Land, pangsa permintaan pencarian Google di UE tidak berubah hingga tahun 2021.
Jika Google dipaksa untuk menjalani penyelesaian tersebut, pihak yang paling dirugikan mungkin adalah Apple. Menurut persidangan tersebut, Google membayarnya sekitar US$20 miliar (Rp323,02 triliun) setahun untuk menjadi mesin pencari default iPhone.
Jumlah itu setara dengan 18% dari laba operasi Apple tahun lalu. Melarang kesepakatan semacam itu akan membuat Apple kehilangan sebagian besar pemasukan uangnya. Walaupun, sebagian besar konsumen mungkin akan tetap menggunakan Google.
Namun, dampaknya dalam jangka panjang mungkin lebih buruk bagi Google.
Mehta dalam putusannya mencatat, bahwa melakukan hal itu akan menghilangkan keuntungan yang diberikan Google setiap tahun. Jika pengaturan yang nyaman itu dilarang, Apple akan memiliki insentif yang jauh lebih besar untuk mengejar bisnis pencarian iPhone untuk dirinya sendiri, bersama dengan pendapatan iklan yang akan menyertainya.
Ini sangat berpotensi bagi perusahaan produsen iPhone itu. Terlihat dalam beberapa tahun terakhir, Apple telah mulai membangun bisnis iklan di sekitar toko aplikasinya. Analis media juga berekspektasi layanan streaming Apple TV+ bakal segera memiliki iklan.
Lantas, masuk ke bisnis mesin pencarian mungkin akan menjadi tambahan yang menggiurkan bagi Apple.