MK Putuskan LPS Lembaga Independen, Bebas dari Intervensi

LPS

Mahkamah Konstitusi RI telah mengabulkan sebagian permohonan mengenai uji materi Pasal 86 ayat 4 UU Penguatan dan Pengembangan Sistem Keuangan (UUP2SK). Dalam amar putusan Nomor 85/PUU-XXII/2024, salah satu poin adalah menegaskan independensi Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dengan memberikan pemaknaan baru terhadap sejumlah frasa yang termuat dalam UU P2SK.

Frasa yang dimaksud antara lain, frasa ‘untuk mendapat persetujuan’ yang terdapat pada Pasal 86 ayat (4), frasa ‘Menteri Keuangan memberikan persetujuan’ pada ayat (6) UU PPSK dinyatakan inkonstitusional bersyarat, sepanjang tidak dimaknai “persetujuan DPR”. Ketentuan serupa juga berlaku untuk frasa ‘yang telah mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan’ yang terdapat dalam ayat (7) Pasal 7 angka 57.

Adapun pasal-pasal tersebut mengatur tentang penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT) untuk kegiatan operasional LPS.

Ketua MK Suhartoyo menyatakan, putusan tersebut dikabulkan sebagian dan berlaku setelah pembentuk UU melakukan perubahan paling lama dua tahun sejak putusan diucapkan, atau apabila belum dibuat maka frasa “sepanjang disetujui DPR” dianggap berlaku. Suhartoyo mengatakan keputusan MK itu diambil untuk menjaga independensi LPS dari lembaga lain, dalam hal ini adalah Kementerian Keuangan.

“Mahkamah menilai sekalipun diperlukan keterlibatan Menkeu dalam penyusunan RKAT, tidaklah tepat apabila bentuknya berupa persetujuan karena berpotensi mengurangi independensi LPS dalam mengambil keputusan,” ujarnya pada 3 Januari 2025 lalu, dikutip Kamis (16/1/2025).

Selain itu, LPS adalah satu-satunya lembaga yang dibedakan proses penyusunan RKAT nya dalam UUP2SK, dan perlu disamakan dengan Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga independen yang persetujuan anggarannya dilaksanakan oleh DPR-RI, selaku lembaga negara dengan fungsi penganggaran dan pengawasan.

Terpisah, Ahli Hukum Keuangan Negara Universitas Indonesia (UI) Dian Puji Nugraha Simatupang mengatakan keputusan itu sudah tepat, karena memberikan kepastian hukum bagi LPS dalam pengelolaan dan penyelenggaraan tugas fungsi wewenangnya. Menurutnya, secara hukum, LPS merupakan badan hukum yang memiliki regulasi tata kelola dan mitigasi risiko tersendiri yang berbeda dengan pengelolaan APBN pada umumnya.

“LPS sebagai badan hukum tidak memerlukan persetujuan Menteri Keuangan lagi, karena kedudukannya kan sudah [ada anggota] ex officio [dari Kementerian Keuangan] juga sudah ada dalam LPS,” katanya dalam keterangannya, Kamis (16/1/2025).

Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran Indra Perwira mengatakan tanpa menunggu revisi UU dalam kurun waktu 2 tahun, LPS sudah menjadi independen sejak putusan MK dibacakan.

Bagaimana kalau dalam kurun waktu 2 tahun, UU belum direvisi? Toh ada masalah yang sama, belum ada mekanisme untuk LPS. Jadi tanpa harus menunggu revisi, LPS kembali independen pada saat putusan MK itu dibacakan.

“Bagi saya direvisi atau tidak, tidak berpengaruh pada pembatalan norma. Mekanisme persetujuan DPR itu bisa mengikuti mekanisme APBN pada umumnya,” kata Indra dalam keterangannya, Kamis (16/1/2025).

Ia menyebut LPS sebagai lembaga fungsi monetary dalam ketatanegaraan, bersama dengan BI dan OJK. Anggaran ketiga lembaga itu disetujui oleh DPR karena mereka adalah cabang kekuasaan yang pemegang hak budget.

“Tetapi jika harus disetujui oleh Menteri Keuangan, berarti mengubah kedudukan LPS dari suatu lembaga negara menjadi sekedar instansi pemerintahan yang subordinasi pada Menkeu. Hubungannya jadi bersifat administrasi,” jelas Indra.

Dalam putusan MK tersebut, disebutkan juga amanat UUP2SK untuk membentuk Badan Supervisi LPS (BS LPS) yang berfungsi membantu DPR RI dalam melaksanakan fungsi pengawasan di bidang tertentu terhadap LPS. BS LPS bertugas membantu DPR dalam membuat laporan evaluasi kinerja kelembagaan LPS.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*