Sumber daya alam Indonesia tak lagi bisa diandalkan sebagai motor utama penggerak pertumbuhan ekonomi, karena stoknya yang makin menipis. Maka, industrialisasi harus kembali digeliatkan pemerintahan Presiden Terpilih Prabowo Subianto, setelah terus anjlok era Presiden Joko Widodo.
Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin mengatakan, tipisnya stok sumber daya alam (SDA) Indonesia tercermin dari nilai cadangan terbukti atau proven reserved enam minerba utama. Nilainya hanya US$ 5,5 triliun, peringkat ke-15 dari 20 negara yang memiliki cadangan terbukti enam minerba utama dunia.
“Saat ini Indonesia menempati ranking ke-15 dalam proven reserved 6 minerba utama senilai US$ 5,5 triliun, karena populasinya besar jika dibagi per kapita maka Indonesia menempati ranking ke-39 di dunia dengan nilai US$ 19.600,” kata Wija dalam diskusi panel, dikutip Senin (23/9/2024).
Nilai proven reserved 6 mineral utama tertinggi ada di Amerika Serikat senilai US$ 35 triliun, Rusia diikuti di posisi kedua, dan Australia di posisi ketiga dengan nilai US$ 26 triliun. 6 mineral utama itu terdiri dari Gas, Nikel, Minyak Mentah, Batubara, Tembaga, Bauksit, dan Besi.
“Ini jelas harus di hemat dan berhati-hati, karena tidak bisa mensejahterakan 280 juta rakyat Indonesia, tentu saja hanya bisa mensejahterakan rakyat-rakyat tertentu yang kita sebut dengan oligarki,” tegasnya.
Karena itu, Wijayanto menekankan, Indonesia tak lagi bisa terus menerus mengandalkan sumber daya alamnya sebagai penopang aktivitas ekonomi ke depan. Sebab, terbukti selama ini terlalu mengandalkan SDA menyebabkan industrialisasi menjadi semakin tertinggal hingga menyebabkan munculnya fenomena deindustrialisasi.
Deindustrialisasi itu terjadi ketika share atau porsi industri manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) kian terkikis. Wijayanto mengatakan, pada zaman orde baru share industri manufaktur terhadap PDB rata-rata masih sebesar 25%, namun kini di era satu dekade pemerintahan Jokowi tinggal 18,7%.
“Sejarah menunjukkan pengalaman negara-negara besar di dunia China, India, Inggris, Jepang dan Amerika, ekonomi mereka membesar karena terdongkrak oleh proses industrialisasi,” ucap Wijayanto.
Oleh sebab itu, Wijayanto menekankan, harapan untuk pemerintah mendatang idealnya fokus pada kualitas pertumbuhan bukan pada kecepatan di mana tidak menjadikan 8% pertumbuhan sebagai dogma, dengan cara mendorong industrialisasi.
“Ini dapat dilakukan dengan membantu para pelaku industri manufaktur karena mereka adalah the real hero, perbaiki kualitas perencanaan dengan tidak terburu-buru karena tragedi IKN dan kereta cepat KCIC adalah contoh nyata,” tutur Wijayanto.