
Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat mendorong adanya upaya bersama untuk menjawab tantangan dampak konflik global karena menilai hal itu seharusnya menjadi kepedulian kolektif berbagai pihak.
“Dampak konflik global ke sejumlah sektor harus menjadi kepedulian bersama untuk segera diatasi dengan berbagai upaya, demi mewujudkan perdamaian di kawasan yang mampu mendukung pertumbuhan perekonomian nasional,” kata Lestari dalam keterangan diterima di Jakarta, Rabu.
Menurut dia, dalam konteks konflik Rusia-Ukraina yang berdampak langsung pada ekonomi negara-negara dunia, termasuk Indonesia, harus diantisipasi dengan langkah yang konkret.
Dia pun mengingatkan bahwa ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial merupakan salah satu amanat Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
“Amanat tersebut menjadi komitmen Indonesia untuk berperan aktif, menjaga, mengupayakan dan menciptakan tatanan dunia yang damai, sekaligus sebagai bagian upaya menekan dampak konflik global di kawasan,” jelasnya.
Untuk itu, Lestari berharap semua pihak terkait dapat mengambil peran aktif untuk menciptakan perdamaian dunia yang berdampak positif bagi stabilitas pembangunan demi mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur secara merata di tanah air.
Ia menyampaikan pandangan itu saat membuka diskusi daring bertema Prospek Perdamaian Rusia-Ukraina dan Dampaknya Bagi Indonesia yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12 pada Rabu ini.
Guru besar ilmu hubungan internasional Universitas Indonesia Evi Fitriani, yang hadir sebagai narasumber dalam diskusi tersebut, mengatakan konflik Rusia dan Ukraina terjadi bersamaan dengan transisi kekuatan global.
Kekuatan baru, seperti China, India, dan Brasil, berupaya mengubah sistem kekuatan dunia dari bipolar menjadi unipolar. Dalam situasi itu, Amerika Serikat berupaya mempertahankan pengaruh dan kekuatannya dengan berupaya aktif menjadi penengah pada konflik-konflik regional.
“Melihat kondisi tersebut, Rusia juga berupaya menegaskan kembali posisinya di dunia. Mengingat, negara-negara bekas Uni Soviet yang mulai mandiri dinilai sebagai ancaman bagi Rusia,” papar Evi.
Menurut dia, gaya kepemimpinan Presiden AS Donald Trump cenderung transaksional sehingga sejumlah upaya perundingan yang dilakukan pada konflik Rusia-Ukraina didasari atas kepentingan AS sendiri.
Dia menyebut pada sejumlah perundingan yang terjadi, tidak terlihat adanya langkah-langkah perdamaian yang disepakati. Oleh sebab itu, Evi menilai, upaya perdamaian masih jauh dari berhasil.
Sementara itu, dosen hubungan internasional Universitas Pertahanan Hendra Manurung, yang juga hadir sebagai narasumber, mengatakan konflik Rusia-Ukraina sudah terlihat sejak 2014 dan meningkat pada Februari 2022.
Konflik itu, dalam pandangan Hendra, memengaruhi konstelasi politik dunia, memicu krisis pangan dan energi, dan menyebabkan krisis kemanusiaan di daerah konflik akibat operasi militer. Di sisi lain, berbagai negosiasi belum mampu menghasilkan gencatan senjata.
Menurut dia, strategi diplomasi melalui kanal politik, ekonomi, sosial, dan budaya dengan tetap mengedepankan kepentingan Indonesia harus dibangun dalam upaya mewujudkan perdamaian.
Adapun Fungsional Madya pada Direktorat Eropa II Kementerian Luar Negeri Dandy F. Soeparan mengatakan potensi yang dimiliki Ukraina dan Rusia sama-sama penting bagi Indonesia.
Dia menyebut kedua negara itu memiliki sumber daya alam, seperti minyak dan gas, pertambangan, serta fosfat sebagai bahan baku pupuk yang, menurut Dandy, dibutuhkan Indonesia.
“Selain itu, di Rusia saat ini ratusan mahasiswa Indonesia sedang menuntut ilmu dengan dukungan beasiswa LPDP sehingga posisi Rusia juga penting dalam pengembangan sumber daya manusia nasional,” paparnya pada kesempatan yang sama.